
"Actus-nya harus sejalan dengan mens rea-nya. Kalau tidak, muncul peradilan yang sesat," ujar Djisman dalam sidang lanjutan Ahok di auditorium Kementan, Jl RM Harsono, Ragunan, Jaksel, Selasa (21/3/2017).
Pembuktian kedua unsur ini, menurut Djisman, juga berlaku untuk kasus penodaan agama dengan dakwaan Pasal 156a KUHP. Tindakan atau perkataan yang dianggap penodaan agama harus dilihat dengan sikap batin saat melakukan perbuatannya.
"Untuk Pasal 156a, sepanjang yang saya sebutkan tadi, sepanjang tidak ada membakar atau menginjak-menginjak, unsurnya tidak terpenuhi sebagian," terangnya.
Penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51 saat bertemu dengan warga di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 dianggap Djisman tidak bisa langsung disebut penodaan agama tanpa melihat sikap batin Ahok. Sikap batin ini, menurut Djisman, bisa diselisik melalui penelusuran rekam jejak orang tersebut.
"Untuk kasus ini, secara teoritis harus dilihat kesehariannya, apakah saya tiap hari selama bertahun-tahun menjelekkan orang, atau saya berbuat baik terhadap orang-orang. Jadi ini harus menjadi pertimbangan, keseharian perbuatan dan perkataannya. Rekam jejak harus dipelajari dulu," katanya.
"Dalam pidana itu, harus ada kesatuan antara actus reus-nya dan mens rea-nya. Harus ada persamaan perbuatan dengan niatnya," tegas Djisman.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Meski dalam kunjungan kerja, Ahok saat itu, menurut jaksa, sudah terdaftar sebagai cagub DKI. (detikcom)
Sumber : Harian Publik - Ahok Didakwa Nodai Agama, Ahli: Harus Dilihat Perbuatan dan Niat
0 Response to "Ahok Didakwa Nodai Agama, Ahli: Harus Dilihat Perbuatan dan Niat"
Posting Komentar