Harianpublik.com~ Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah dan Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris).
Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.
Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi.
Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.”
Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?”
“Bukan, dia Nasrani.” Jawab Abu Musa.
Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”
Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah:51.
Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Dalam kitab Tafsir Ibn Abi Hatim juga ditemukan kisah yang sama. Kisah tersebut dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.
DIPECAT MESKI PUNYA SEGUDANG PRESTASI
Dalam tafsir “Al-Kasyf wa Al-Bayan“, Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’laby telah menukil sebuah kisah dari Iyadh Al-Asy’ary;
“Dan Iyadh Al-Asy’ary berkata; Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ary datang kepada Umar Ibn Khattab dan berkata;
“Kita memiliki seorang penulis (pencatat/sekretaris) yang terpercaya dan beragama Nasrani, dimana orangnya begini dan begini (menyanjung kelebihannya).
Kemudian Umar pun berkata; “Ada apa denganmu? Sungguh Allah akan memerangimu (ungkapan pengingkaran), tidakkah telah kau dengar Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu” dan juga Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu).” Mengapa tidak kau ambil saja orang yang Hanif? (orang yang bertauhid dan bukan musyrik).”
TAPI TANPA DIA, URUSAN NEGARA TIDAK JALAN? TETAP PECAT
Selain Imam Ats-Tsa’laby, kisah di atas telah dinukil juga oleh beberapa Mufassir lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya telah dinukil oleh Abu Zahrah dalam kitabnya “Zahrah At-Tafasir” saat mengatakan;
“Dan dahulu Umar ibn Khattab Radhiyallahu ‘Anhu melarang penggunaan non-Muslim di Negeri Muslim. Dan telah diriwayatkan dalam hal tersebut bahwa Abu Musa Al-Asy’ary memiliki seorang penulis (sekretaris) beragama Nasrani, lalu Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab mengirimkan surat kepadanya melarang akan hal tersebut. Dan di akhir surat tersebut dikatakan;
“Janganlah engkau mendekatkan mereka (non-Muslim) sedangkan Allah telah menjauhkan mereka”.
Lalu Abu Musa pun membalas surat tersebut dengan berkata; “Urusan di Basrah ini takkan berjalan tanpa dia (sekretaris Nasrani tadi)”.
Lalu Umar pun kembali menyuratinya dengan perkataan singkat; “Orang Nasrani itu telah mati! Wassalam!”.
Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”
Sedangkan Imam Al-Zamakhsary telah menafsirkan kalimat singkat tersebut dengan menjelaskan; "Maksudnya adalah: Orang Nasrani tersebut (anggap saja) telah mati, dan apa yang –akan– kau lakukan saat Nasrani itu telah mati, maka lakukanlah saat ini juga, dan angkatlah orang lain (sekretaris yang lain) untuk menggantikannya."
Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.
SAHIHKAH RIWAYATNYA?
Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi. Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.
Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafasir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.
KESIMPULAN
Pertama, Khalifah Umar sangat marah saat Abu Musa Al-Asy’ary –selaku Gubernur Basrah kala itu– mengangkat seorang sekretaris beragama Nasrani. Meskipun Abu Musa telah menyampaikan tabayyun dan memberikan alasan bahwa orang Nasrani tersebut adalah sosok yang handal dan piawai (bahkan urusan di Basrah takkan berjalan tanpa dia), namun Khalifah Umar tetap tidak menerima alasan tersebut dan tetap memberi perintah untuk segera mencopotnya lalu menggantinya dengan seorang sekretaris Muslim.
Kedua, saat menolak kebijakan Abu Musa Al-Asy’ary, Khalifah Umar memandang bahwa pengangkatan seorang sekretaris non-Muslim di negeri Muslim adalah sesuatu yang tidak logis. Karena logikanya, dalam sebuah masyarakat mayoritas Muslim, mustahil tidak ditemukan seorang Muslim yang lebih kredibel dibanding satu orang Nasrani yang disanjung-sanjung oleh Abu Musa tadi. Dan kalau saja memang tidak ada orang yang lebih mumpuni dibanding sekretaris Nasrani tadi, tentunya Khalifah Umar pasti takkan memerintahkan gubernurnya untuk mencopot sekretaris andalannya itu, sebab itu sama saja dengan perintah untuk melakukan hal yang mustahil, yang itu bertentangan dengan nalar dan syara’.
Ketiga, Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut ternyata tidak murni mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka menerapkan dua perintah Allah yang telah termaktub jelas dalam Al-Qur’an:
Pertama adalah surat Ali Imran ayat 118 yang selengkapnya berbunyi;
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [QS: Ali Imran [3]: 118]
Kedua adalah surat Al-Maidah ayat 51 yang selengkapnya berbunyi;
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali (mu); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah (5):51 ].
Ini artinya, kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan sebagai dalil akan “larangan mengangkat non-Muslim untuk menduduki jabatan vital di negeri mayoritas Muslim” tentunya jabatan penting lainnya yang lebih tinggi dari sekedar sekretaris gubernur.
ADA BERITA UNIK DAN MENARIK SCROLL KE BAWAH
Sumber Berita : berbagai sumber
Sumber : Harian Publik - 3 Versi Kisah Umar RA Memecat Sekertaris karena Dia Nasrani, Meski Berprestasi Terbaik Tetap Dipecat (Al-Maidah 51)
0 Response to "3 Versi Kisah Umar RA Memecat Sekertaris karena Dia Nasrani, Meski Berprestasi Terbaik Tetap Dipecat (Al-Maidah 51)"
Posting Komentar