Cendekia Minang di Abad Silam
Harianpublik.com, MINANGKABAU - Orang Minang dikenal sebagai suku yang banyak memiliki orang-orang terpelajar. Mulai dari politisi, sastrawan, pembuat film, pemuka agama, ilmuwan, dan tokoh pendidikan, banyak yang berasal dari Minang. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, orang terpelajar mereka sudah banyak, meski pun Universitas Andalas belum ada di zaman kolonial.
Pada pertengahan abad lalu, bersama etnis lain di Indonesia, orang-orang Minang terpelajar ambil bagian dalam Proklamasi dan pendirian Republik Indonesia. Orang-orang tak akan lupa nama Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Yamin, dan Tan Malaka. Mereka adalah orang-orang yang menorehkan sejarah dalam perjalanan Indonesia. Atas jasanya, mereka mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Namun, tidak semua orang hebat dari Minang ini menjadi Pahlawan Nasional. Ada Jahja Datuk Kajo, dari generasi yang lebih tua dari Hatta. Ia tak kalah hebat dari cendekia-cendekia Minang lainnya. Sekolahnya memang tidak setinggi Hatta, tetapi sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Jahja ikut melawan Belanda. Jika anggota Volksraad lain, yang kebanyakan Belanda, memakai bahasa Belanda dalam sidang Volksraad, maka Jahja memakai bahasa Melayu. Begitu tertulis dalam Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927 – 1939 (2008).
Masuk Pergerakan Nasional
Pada zaman kolonial Hindia Belanda, belum ada sekolah tinggi hadir di Minang. Universitas Andalas baru ada setelah Indonesia merdeka. Bagi mereka yang sudah lulus SD elit macam HIS atau ELS, bisa meneruskan ke sekolah menengah kolonial. Jika ingin jadi guru mereka bisa pergi ke Fort de Kock (Bukittinggi), di mana Kweekschool sudah ada sejak 1856. Jika ingin berijazah SMP saja, di kota Padang terdapat MULO. Kebanyakan kaum terpelajar Padang, jika sudah menempuh sekolah-sekolah itu akan merantau dan belajar di sekolah yang lebih tinggi lagi di Pulau Jawa.
Orang-orang terpelajar yang lebih senior dari Hatta, belum banyak yang sekolah tinggi. Mereka kebanyakan menjadi pejabat di daerah Sumatera. Tak hanya Jahja Datuk Kajo, yang sebelum jadi anggota Volksraad, dia pernah jadi Demang atau Camat. Ada lagi Mohammad Rasad gelar Maharaja Sutan, yang menjadi jaksa di Medan. Mereka sama-sama berasal dari Koto Gadang juga.
Sebagai orang berada, mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga berijazah setara SMA. Jahja punya anak laki-laki bernama Daan Jahja, yang terakhir belajar di Sekolah Kedokteran zaman Jepang Ika Dai Gakku di Jakarta. Namun, ia tidak lulus karena Perang. Daan kemudian jadi perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di usia yang masih sangat muda, Daan Jahja pernah menjadi Gubernur Militer di Jakarta.
Mohammad Rasad juga menyekolahkan anak laki-lakinya hingga SMA. Salah satunya Sutan Syahrir yang menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Pendidikan kurang dianggap penting bagi anak perempuannya. Salah seorang anak Mohammad Rasad yang tak disekolahkan. Namun, anak ini bisa membaca, dan belakangan bisa menulis. Anak ini belakangan menjadi tokoh perempuan Indonesia yang terlibat juga dalam pergerakan nasional, Rohana Koedoes. Dia saudara seayah Sutan Syahrir, tapi lain ibu.
Selain anak-ananya yang menjadi tokoh pergerakan seperti Syahrir dan Rohana, Rasad juga punya cucu yang dikenal sebagai sosialis gerakan bawah tanah anti Jepang, yakni Djohan Sjahruzah. Djohan juga berijazah SMA. Dia pernah sebentar kuliah di Recht Hoge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta. Belakangan lebih memilih masuk pergerakan. Untuk menyambung hidup, Djohan pernah bekerja juga di perusahaan minyak Belanda, tapi tidak lama karena keterlibatan di serikat buruh. Djohan menikahi putri Haji Agus Salim.
Bicara soal Haji Agus Salim, yang dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam dan Menteri Luar Negeri di awal-awal kemerdekaan, tentu menarik. Dia lulusan terbaik HBS-KW III Jakarta, yang gedungnya menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Agus Salim adalah anak Mohammad Salim, seorang jaksa. Pernah menjadi Jaksa Kepala di Riau. Dengan kedudukan ayahnya Salim bisa bersekolah di sekolah Belanda.
Sebagai lulusan terbaik HBS, Salim sebenarnya bisa kuliah di Belanda jika mau menerima beasiswa yang dihibahkan Kartini. Namun, dia memilih bekerja. Setelah di perusahaan swasta, dia bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Kembali ke Indonesia dia masuk Sarekat Islam. Meski dia lulusan sekolah Belanda, Salim justru tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan belajar di rumah. Meski tak sekolah Belanda, anak-anaknya bisa berbahasa Belanda bahkan Inggris. Anaknya bahkan terlibat pergerakan nasional sejak muda. Dolly, yang masih 15 tahun, sudah memainkan piano membawakan Indonesia Raya ketika Kongres Pemuda II.
Selain anak-anak Agus Salim, ada adiknya yang juga ikut pergerakan nasional. Abdul Chalid Salim, begitu nama sang adik, terlibat pemberontakan komunis 1926-1927 hingga harus dibuang ke Digoel. Sebelum dibuang, dia adalah seorang wartawan. Setelah bebas, adiknya menulis buku Lima Belas Tahun Digoel.
Orang Minang yang bergabung dengan Sarekat Islam selain Salim tentu saja Abdul Muis. Dia anak seorang demang yang pernah sebentar belajar di sekolah kedokteran zaman Belanda STOVIA. Muis yang tak lulus sekolah dokter itu kemudian menjadi anggota Volksraad. Selain sebagai tokoh pergerakan, dia juga dikenal sebagai novelis. Orang Minang lain yang tak lulus dari STOVIA adalah Djamaludin Adinegoro, masih saudara seayah dari Mohammad Yamin tapi beda ibu. Dia juga jago menulis. Namanya diabadikan sebagai penghargaan bidang jurnalistik.
Orang terpelajar lain tentu saja Ibrahim, putra HM Rasad, seorang pegawai pertanian. Ibrahim siswa cerdas di sekolahnya, Kweekschool Bukittinggi. Lulus dari kweekschool dia dihormati dan diberi gelar Datuk Tan Malaka. Padahal, usianya baru 16 tahun. Tan Malaka lalu diberi pinjaman uang untuk sekolah lagi di Belanda. Dari Belanda, Tan yang kembali ke Indonesia dan sempat mengajar di sekolah milik Senembah Maskapai, akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski dia PKI, Tan adalah sosok yang menekankan perlunya persekutuan dengan orang-orang Islam dalam melawan Belanda. Sebagai komunis, Tan bukan orang yang menurut pada Stalin. Hingga dia dimusuhi. Tan dikenal dengan karya Madilog-nya.
Kebanyakan intelektual merupakan anak-anak pegawai. Hatta adalah salah satu pengecualian. Ia berasal dari keluarga pedagang. Setelah lulus MULO, Hatta belajar di sekolah dagang di Jakarta, sebelum akhirnya belajar di sekolah tinggi dagang Rotterdam. Setelah bekerja di perusahaan pamannya, Mak Etek, Hatta masuk pergerakan nasional. Bersama Syahrir, Hatta juga ikut dibuang ke Boven Digoel, karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial.
Selain Hatta dan Syahrir, banyak juga orang-orang Minang yang dibuang ke Digoel. Di antara mereka sudah bergelar haji dan memperdalam ilmu agama Islam. Mereka adalah Soeleiman gelar Haji Soeleiman; Sinoerdin Gelar Haji Noerdin; Iljas jacob; Djamaludin Taib; Mochtar Lutfie, dan tentu saja Chalid Salim.
Mereka Juga Sastrawan
Sebagai novelis, Abdul Muis pernah mengeluarkan Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), Robert Anak Surapati (1953) dan yang paling sohor tentunya Salah Asuhan (1928). Karya Salah Asuhan satu zaman dengan Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli. Jika Abdul Muis adalah politisi, maka Marah Rusli sehari-hari bekerja sebagai dokter hewan yang pernah ditugaskan juga ke Nusa Tenggara. Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis La Hami dan Memang Jodoh. Dalam periode yang sama dengan Siti Nurbaya, karya tulis Tulis Sutan Sati yang berjudul Sengsara Membawa Nikmat juga lahir,
Buya Hamka yang dikenal tokoh Islam dan politisi di masa orde lama, juga menelurkan beberapa karya penting dalam sejarah sastra Indonesia seperti Di bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Dua karya Hamka itu sudah pernah difilmkan.
Tokoh pergerakan lain yang juga ikut menulis adalah Roestam Effendi. Dia adik kelas jauh Tan Malaka di kweekschool Bukittinggi. Karya-karya Roestam antara lain drama Bebasari dan puisi-puisi yang dibukukan dalam Percikan Renungan. Dari sekian banyak tokoh pergerakan Indonesia, hanya Roestam yang pernah menjadi anggota parlemen Belanda. Dia menjadi wakil Partai Komunis Belanda. Bakat berpolitiknya menurun pada cucunya, Dede Yusuf Effendi yang pernah jadi Wakil Gubernur Jawa Barat.
Di antara pemuda keturunan Minang, dari generasi di bawah Roestam tentu saja ada Idrus yang menulis Dari Ave Maria Jalan Lain Ke Roma, Rivai Avin dengan Tiga Menguak Takdir, Ali Akbar Navis dengan Robohnya Surau Kami. Selain menulis novel-novel, tentu jika bicara puisi orang-orang Indonesia haram hukumnya melupakan Chairil Anwar yang dianggap pendobrak dunia puisi Indonesia. Para penulis Minang bisa dibilang cukup mendominasi dunia sastra Indonesia. Mereka juga orang-orang yang tak kalah terpelajar dari Syahrir dan lainnya.
Di lapangan keagamaan, setidaknya, di akhir abad XIX, pernah ada seorang Minangkabau yang menjadi tuan guru ilmu agama di Mekkah, namanya adalah Syech Achmad Khatib. Orang-orang dari belahan dunia yang belajar ilmu agama di Mekkah pernah belajar darinya. Termasuk orang-orang Indonesia yang naik haji dan belajar di sana. Ayah Hamka sendiri adalah tuan guru di Sumatera Barat. Ayahnya termasuk tokoh terpandang yang ikut mendirikan tempat belajar agama Islam yang dianggap modern bernama Sumatra Thawalib. Tentu saja di generasi berikutnya orang-orang terpelajar itu bertambah jumlahnya. Dari semua tokoh di atas, hampir semuanya menjadi besar namanya setelah merantau untuk belajar dan berkarya. Mereka lahir di Minang, tapi tidak besar di Tanah Minang.
Source: Tirto
Sumber : Harian Publik - Cendekia Minang di Abad Silam
0 Response to "Cendekia Minang di Abad Silam"
Posting Komentar